How's Life at Seminari?

Seminari berasal dari bahasa Latin Seminarium, yakni pendidikan bagi calon imam Gereja Katolik masa depan. Seminari memiliki peran penting dalam hidup rohani umat katolik, karena dari sinilah muncul para imam yang melayani umatnya.





Bersama beberapa frater, teman, dan guru (hayo ditebak mana yang frater, mana yang guru, mana yang teman saya hehe)

Banyak orang yang belum mengenal pasti tentang seminari. Banyak anggapan bahwa "seminari itu hanya untuk mereka yang suci" atau "seminari itu isinya hanya berdoa dan berdoa." Memang, seminari memiliki suasana yang sepi dan tenang, dan biasanya jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Namun, bukan berarti kegiatan di seminari membosankan. 

Dalam postingan ini, saya mencoba untuk menceritakan bagaimana pengalaman  live-in sekolah saya bersama dengan 5 teman dan seorang guru di sebuah seminari di daerah Malang, yakni Seminari Internum CM di Badut. (Perlu diketahui bahwa CM punya 2 seminari di Malang, yakni di Badut dan Langsep). 

*Untuk foto tidak banyak karena memang tidak diperbolehkan bawa HP/kamera*
*Kisah di bawah saya ambil dari laporan refleksi yang saya buat dan saya kumpulkan kepada guru saya, beserta beberapa tambahan cerita lainnya*



Orientasi

Panggilan untuk menjadi imam memang sangat mulia. Namun, untuk menjaganya butuh perjuangan yang ekstra. Perjalanan menjadi seorang imam dimulai dari tingkat pertama (Postulat) selama satu tahun. Kemudian, mereka masuk tingkat kedua (novis) juga selama 1 tahun. Setelah itu, mereka mengikuti S-1 di Seminari Langsep selama empat tahun. Setelah S-1 rampung, mereka memasuki masa diakonat di paroki-paroki. Setelah itu, mereka ikut S-2 di sebuah kampus di area Universitas Malang. Selesai S-2, mereka kembali mengikuti masa diakonat. Sekembalinya dari diakonat, mereka kembali ke noviciat untuk masa persiapan sebelum ditahbiskan menjadi imam. Total waktu pendidikan bagi calon imam adalah sepuluh tahun.



Tidak semua frater akhirnya menjadi imam. Di tengah jalan, ada saja yang mengundurkan diri atau berhalangan. Berdasarkan angkatan-angkatan sebelumnya, dari sejumlah frater yang menjadi imam hanyalah dua atau tiga orang saja. Ini menunjukkan bahwa untuk menjadi imam sangatlah tidak mudah. Sudah layak dan sepantasnya kita menghargai para imam dengan sepenuh hati. Kita harus mendukung karya pelayanan yang mereka laksanakan.


HARI KE-1 (RABU)


Berangkat dari Stasiun Kota Malang dan mampir dahulu ke susteran Putri Kasih, kami tiba di seminari kira-kira mendekati pukul 12 siang. Sesampainya angkot tiba di halaman seminari, suasana begitu tenang dan kontras dengan suasana sepanjang jalan yang riuh dengan paduan suara klakson kendaraan. Kami disambut oleh beberapa frater dan diarahkan ke gedung noviciat. Satu kamar bisa menampung 2 orang (khusus kamar frater hanya 1 orang/kamar). Di dalam kamar itu ada 2 buah kasur, lemari kayu, wastafel, meja, dan kursi. Sederhana tapi layak untuk kehidupan seminari. 

Ini wajib diketahui semua orang. Ibadat dan meditasi menjadi satu kebiasaan penting bagi para frater. Ibadat dilakukan pada pagi hari (Pkl 05.30) dan sore hari (pkl 18.30), sedangkan meditasi dilakukan setelah berdoa Angelus, yaitu pada pkl 06.00, pkl 12.00, dan pkl 18.00. Perayaan ekaristi dilakukan setiap pagi setelah meditasi pagi hari. Ibadat dan meditasi dilaksanakan masing-masing selama 30 menit. Dalam proses ibadat, kami diajak untuk memuji Tuhan lewat nyanyian-nyanyian mazmur. Tata caranya serupa dengan ibadat harian yang biasa kita ikuti. Bedanya, ada tiga mazmur yang dinyanyikan di setiap ibadat. Dalam proses meditasi, kita diajak untuk merenungkan bacaan injil pada hari itu serta memeriksa batin kita terhadap apa yang kita dilakukan pada hari itu. 

Setelah dari kamar, ikutlah kami dalam angelus siang yang jadwal saat itu dilanjutkan dengan rosario. Setelah rangkaian doa selesai didaraskan, tibalah saatnya untuk makan.

Sesampainya di ruang makan, kami harus segera menempati tempat duduk yang ada (tidak ditentukan, sehingga bebas). Lalu, sesuai jadwal, dibuka dengan doa. Lalu, mulailah makan. Piring-piring sudah tersusun rapi. Sendok dan garpu serta pisau buah dimasukkan ke dalam kantong yang sudah diberi nama. Minuman bisa diambil sendiri, ada air mineral, ada teh, ada kopi.


Suasana saat makan

How about the food? Di luar dugaan, makanan yang disajikan begitu menggugah selera. Rasanya sangat pas (bukan karena gratis, walaupun iya). Sebelum makan, seperti biasa ada doa makan. Makanan disajikan secara prasmanan, jadi kami harus ambil sendiri. Yang disajikan cukup sederhana. Nasi, sayur (bisa sop), lauk (ikan goreng, tempe, dll), dengan kerupuk atau ikan asin yang digoreng kering. Aturannya adalah semua harus ambil secukupnya, daging/ikan ambil dulu satu. Baru setelah semua sudah mengambil boleh tambah selama masih ada. Jika habis, tidak ada tambahan dari dapur. Waktu makan hanya 30 menit, kemudian ditutup dengan pengumuman dan doa penutup. 

Setelah makan, ada piket cuci piring. Tugasnya jelas, mencuci semua alat makan dan mengeringkannya serta mengembalikan ke tempat asalnya. Memang terlihat membosankan, namun karena dikerjakan bersama-sama suasana jadi seru. Piket cuci piring hanya berlaku untuk makan siang and makan malam. Ketika sarapan, doa dilakukan sendiri dan alat makan dicuci sendiri. Juga dalam piket ini ada tugas menyapu lantai agar bersih dari makanan yang mungkin terjatuh. 

Aktivitas setelah makan siang adalah bebas sebentar sebelum tidur siang. Waktu ini saya pergunakan untuk berkenalan dengan para frater serta membereskan barang-barang bawaan saya. Tidur siang dimulai pukul 13.30 (Sekedar info, seminari memang mengharuskan muridnya untuk tidur siang selama satu jam setengah. Bahkan di biara-biara suster juga sama. Jadi, jika akan mengunjungi seminari atau biara, jangan sampai salah waktu ya.... hindari jam tidur siang antara jam 13.30-15.00). Setelah itu, ada kerja bakti membersihkan halaman. Saya waktu itu bertugas mencabuti rumput liar di lapangan basket. Teman saya ada yang menyapu daun dan mengumpulkan sampah. Tidak lama, mulailah kegiatan Olahraga. Ada basket, futsal, dan badminton. Saya pilih badminton. Olahraga sampai jam 5, kemudian mandi. Kamar mandi tidak di dalam kamar, jadi harus sharing dengan yang lain. 

Sore pukul 18.30 adalah waktu doa angelus sore. Setelah angelus, ada meditasi hingga waktu pukul 18.30. Lalu, dilanjutkan dengan ibadat sore. Setelah rangkaian doa, tibalah saatnya makan malam.

Setelah makan malam, para frater ada latihan koor, sedangkan kami waktu itu sedang bertemu dengan Rm Gigih, serupa dengan kepala sekolah di seminari tersebut. Sejam setelahnya, para frater menonton TV. Penggunaan TV di seminari sangat dibatasi, hanya 2 kali seminggu. Nah, waktu itu para Frater sepakat untuk nonton film yang berjudul "The Boy in Streaped Pajamas". Film tersebut mengisahkan cerita seorang anak Jerman yang berteman dengan anak Yahudi ketika Nazi berkuasa. Kegiatan menonton TV adalah satu-satunya kegiatan yang selesai paling malam sepanjang kegiatan seminggu, yakni pukul 23.00 dan tidak perlu doa malam. 


HARI KE-2 (KAMIS)

Hari Kamis adalah hari bebas para frater karena pada hari ini, tidak ada pembelajaran di seminari. Karena itu, pada dasarnya, waktu bangun para frater tidak dibatasi, namun jam sarapan tetap berlaku. Namun, karena pada waktu itu Rm. Gigih akan berangkat ke Surabaya dan kembali malam hari, misa yang harusnya sore dipindah menjadi pagi. 

Setelah sarapan, waktunya bebas melakukan segala macam aktivitas asal bermanfaat (bukan olahraga). Para frater ada yang bermain musik, ada yang membaca buku, ada yang mencuci baju, dll. Pukul 09.00 ada agenda khusus yakni penyambutan secara formal dari para frater. Dalam sesi ini, kami semua saling memperkenalkan diri satu per satu serta sharing pengalaman terutama dalam hal sosial, karena salah satu misi CM fokus pada bidang sosial. Pukul 10.00, sesi selesai dan kegiatan berlanjut seperti biasa. Saya waktu itu berada di ruang kreativitas untuk bermain musik serta membaca majalah Hidup yang ada. Kegiatan itu hingga pukul 12.00 untuk dilanjutkan dengan angelus siang dan makan. Setelah makan pun masih waktu bebas. Saya memilih untuk mencuci baju yang saya pakai saat berangkat. Tersedia mesin cuci untuk mencuci baju, namun bisa juga secara manual. 

Pukul 15.30, ada sesi yang bernama Emaus/Ambulatio. Dalam kegiatan ini, para frater berjalan berdua di sekitar seminari untuk berbincang-bincang. Waktu itu, saya  dan teman saya didampingi 2 orang frater dan berjalan di sekitar perumahan Tidar yang bersebelahan dengan seminari. Sambil berjalan, kita berbicara tentang berbagai hal. Di sini, saya belajar untuk saling terbuka satu sama lain. Pada dasarnya, filosofi dari kegiatan ini berasal dari peristiwa Emaus dalam kitab suci setelah Yesus bangkit. Pukul 17.00 kami sudah kembali ke seminari. Kegiatan sisanya berjalan sama hingga makan malam. 

Setelah makan malam, ada sesi refleksi bersama Rm. Gigih. Dalam sesi ini, kami diajak merenungkan, nilai apa yang dapat diambil dari kegiatan sehari itu. Setelah refleksi, kami ke kamar terlebih dahulu karena para frater masih belajar di kamar masing-masing. Tak lama, ada kegiatan mengevaluasi teman. Dalam kegiatan ini, para frater harus memberikan komentar terhadap frater lainnya dan mereka berdua akan membahas itu di suatu tempat (terserah). Komentar bisa berupa pujian atau kritik. Jika minggu ini pujian, minggu depan berupa kritik. Waktu itu adalah saatnya pujian. Saya dan satu teman saya memutuskan untuk ikut dalam kegiatan ini dan melihat bagaimana prosesnya, sementara teman saya yang lain ada di kamar. Setelah melihat dan mengamati, kami sedikit berbincang tentang hal-hal seperti sekolah dll. Hari itu juga ditutup tanpa doa malam. 

HARI KE-3 (JUMAT)

Pintu depan Seminari CM Langsep


Pada hari ini, seperti biasa kami bangun pagi untuk ibadat dan misa. Yang unik dari hari ini adalah semua doa dalam ibadat dan misa didaraskan dalam bahasa Jawa, lebih tepatnya Jawa Krama Alus. Luar biasa saya tak mengerti, namun berupaya mengerti. Sarapan juga seperti biasa. Setelah sarapan, ada kerja bakti untuk menyapu dan mengepel lantai di gedung novisiat, baik di kamar maupun di ruangan yang lain. Kegiatan ini hanya 30 menit, setelah itu para frater ada kelas. Selama kelas, kami diajak oleh Rm. Gigih menuju beberapa tempat milik CM di Malang, yakni seminari Langsep (sempat berkeliling), Perguruan Tinggi (hanya lewat), dan khalwat Bethlehem yang merupakan tempat retret (sempat berkeliling dan berdoa di Gua Maria). Tempat yang terakhir adalah tempat yang paling mengesankan karena sebelumnya saya pernah LKTD di situ, hanya beberapa bulan sebelumnya. Kami tiba kembali di seminari tepat angelus jam 12. Makan siang dan tidur seperti biasa. 

Selfie di depan Gua Makam Yesus di Khalwat Bethlehem

Setelah tidur siang, ada jalan salib mengelilingi gedung seminari. Lalu, seharusnya adalah kegiatan di kebun. Perlu diketahui bahwa di area belakang seminari ada kebun yang ditanami berbagai macam buah. Namun, karena waktu itu hujan, acara dibatalkan dan diganti dengan kegiatan kerja bakti membersihkan gedung seminari (lagi). Kegiatan berakhir pukul 17.00 dan dilanjutkan ibadat, makan, piket, dan refleksi. Setelah refleksi, para frater ada latihan band, namun waktu tidak terlalu lama, hanya 45 menit. Kegiatan diakhiri dengan doa malam di kapel. 

HARI KE-4 (SABTU)

Pada hari ini, seperti biasa kami bangun pagi untuk ibadat dan misa. Yang unik dari hari ini adalah semua doa dalam ibadat dan misa didaraskan dalam bahasa Inggris. Yang unik juga dari hari ini adalah buku ibadatnya sangat tebal dan berat, 3-4 kali lebih tebal daripada kitab suci. Ada suatu pengalamana unik saat misa, yakni saya diminta untuk menyanyikan bait pengantar injil. Masalahnya, saya belum pernah menyanyi di depan orang, biasa cuman di kamar mandi dan saya tau suara saya enggak enak didengar. Akan tetapi, saya berusaha untuk tetap menyanyikannya. Hasilnya, saya bisa melaksanakan tugas dan mendapat pujian dari salah seorang bruder, walaupun sempat false di awal. Seperti biasa juga, sarapan dan kerja bakti. 

Suasana jelang ibadat. Terlihat bagaimana tebal buku ibadat Bahasa Inggris yang digunakan


Setelah itu, kami berkesempatan untuk mengikuti salah satu mata pelajaran, yakni Bahasa Jawa. Saya pribadi sangat tertarik karena sudah lama saya tidak belajar Bahasa Jawa, lebih tepatnya dari lulus SMP. Pelajaran waktu itu masih mudah, cukup membaca sebuah bacaan Jawa. Namun, bagi para frater, pelajaran ini cukup susah, mengingat mayoritas bukan orang Jawa, namun mereka dengan paksaan diri tetap tekun mempelajarinya. Mengapa para frater belajar Bahasa Jawa? Dijelaskan oleh Rm. Hersemedi, guru pengajar, Bahasa Jawa sangat penting dalam misi sosial. Tidak semua umat mampu berbahasa Indonesia, utamanya di daerah-daerah. Maka, para frater disiapkan untuk bisa berbahasa Jawa, minimal membaca dengan lancar. Pembelajaran hanya berlangsung selama 45 menit. Lalu kami istirahat sebentar. 

Setelah itu, ada sesi yang bernama Diskusi Koran. Dalam sesi diskusi ini, setiap dari kami memberikan tanggapan terkait dengan sebuah artikel yang sudah diberikan sebelumnya. Pada waktu itu, tema diskusi adalah tentang kondisi negara kita saat ini, terutama dari sisi kebebasan beragama, lengkap dengan artikelnya. Sesi ini dibimbing langsung oleh Rm. Gigih. 45 menit pula kegiatan ini berlangsung, hingga akhirnya selesai tepat pukul 12.00. Setelah itu, seperti biasa ada angelus dan makan siang. Setelah makan siang, saya masih menyempatkan diri untuk membaca majalah Hidup yang belum selesai sebelum tidur. 

Setelah tidur, pukul 15.00, kondisi di luar hujan, sangat lebat. Agenda yang dijadwalkan saat itu adalah kegiatan di kebun, sebagai ganti di hari sebelumnya. Kemudian, agenda diganti dengan membersihkan area gedung seminari, baik kamar-kamar maupun tempat makan. Setelah itu, acara (seharusnya) olahraga. Beberapa teman saya bersama para frater menikmati bermain sepak bola di bawah guyuran hujan, sedangkan saya, seorang teman saya, guru saya, dan seorang frater bermain tenis meja dan billiard yang berada di ruangan tersendiri. Lebih nyaman dan tidak perlu mengeluarkan keringat. Olahraga hingga pukul 17.00 dan dilanjutkan mandi hingga makan malam. 

Seharusnya malam itu ada refleksi bersama. Namun karena Rm. Gigih masih ada tugas, kami ikut kegiatan para frater, yakni latihan koor. Ada dua lagu yang kami latih, yakni Datanglah, Tuhan dan (satunya saya lupa hehe). Saya ambil posisi sebagai bass. Total hanya 4 orang yang berperan sebagai bass, 2 orang tenor/alto, sisanya sopran dengan range suara disesuaikan masing-masing. Latihan tersebut tidak lama, kemudian dilanjutkan dengan menonton TV. Tidak ada film yang diputar, sehingga para frater menonton tanyangan yang ada di TV tersebut. Waktu itu, kami menonton konser musik di salah satu stasiun televisi ternama. Malam ini tidak ditutup dengan doa malam karena selesai pukul 23.00. 

HARI KE-5 (MINGGU; TERAKHIR)

Karena ini adalah hari Minggu, misa diadakan seperti misa mingguan. Lengkap. Lagu-lagunya juga sesuai dengan yang dilatih malam sebelumnya. Kali ini tidak ada ibadat pagi karena sudah terpotong dengan misa. Setelah misa, saatnya sarapan bersama. 

Setelah Misa, berfoto bersama di altar. 


Di hari Minggu ini, ada sebuah kegiatan yang rutin dilakukan oleh para frater. Nama dari kegiatan ini sengaja saya tidak beritahu karena ada permintaan khusus dari para frater untuk tidak mengekspos kegiatan ini secara umum. Hal ini karena dikhawatirkan akan menghambat kegiatan kedepannya. Namun, pada dasarnya kegiatan ini berhubungan dengan orang-orang miskin yang tersebar di seluruh Kota Malang.

Persiapan naik sepeda berkeliling kota Malang

Dalam kegiatan ini, saya bersama teman saya dan dua orang frater  berkeliling Kota Malang dengan bersepeda. Saya sangat excited karena saya sudah lama tidak bersepeda. Berangkat kira-kira pukul 08.30, kami langsung menuju tempat kami, yakni sekitar Perumahan Ijen dan Malang Town Square (Matos). Kami sempat bertemu dengan seorang tukang becak di dekat katedral Malang. Kami duduk lesehan di trotoar. Dari cerita yang beliau sampaikan, saya banyak mendapat nilai-nilai penting, seperti sederhana, kerja keras, dan tetap semangat. Juga melalui cerita beliau, saya jadi banyak mengerti cara beliau untuk bisa menghidupi diri sendiri dan keluarganya di tengah maraknya penggunaan ojek online di tengah masyarakat dan saya rasa ini sudah mewakili kisah hidup semua orang yang miskin, lemah, dan terpinggirkan. Kemudian, kami bersepeda kembali menyusuri jalanan yang baru saja dibuka pasca Car Free Day. Di depan Matos, kami sempat beristirahat, kemudian lanjut lagi kembali ke seminari. Sebelum tiba di seminari, kami sempatkan untuk mengunjungi candi Badut yang hanya beberapa ratus meter dari seminari. Candinya tidak begitu besar dan sudah banyak batu yang hancur, mungkin karena belum terawat dengan baik. Rasa lelah sangat saya rasakan ketika kembali ke seminari... jalanannya nanjak dan curam, sepeda sudah saya stelkan gigi 1 tetap berat. Sebenarnya, kegiatan ini selesai pukul 13.00, namun karena kami akan pulang, kami menyelesaikan kegiatan ini pukul 11.00. 

Sesampainya di seminari, kami mandi sebentar, beres-beres, dan membawa tas kami keluar dari kamar. Sebelum angelus, kami bertemu dengan Rm. Gigih untuk refleksi akhir dan kesan-kesan selama di seminari. Lalu, kami makan siang dan menyampaikan salam perpisahan kami dengan para frater. Tepat pukul 14.00, kami meninggalkan seminari dan menuju ke Stasiun Malang Kota untuk bergabung bersama rombongan lain. 

Konklusi

Dari segala refleksi harian yang tertuang di atas, saya mencoba untuk mensarikan semuanya menjadi satu nilai hidup. Hidup di seminari tidak semudah yang semua orang pikir. Harus tinggal jauh dari rumah, tanpa ditemani orang tua, tanpa alat komunikasi, hidup mandiri, dan harus mengikuti segala aktivitas di dalam seminari. Namun di balik kesusahan itu, terselip sebuah kisah yang sarat akan nilai hidup dan nilai motivasi. Di seminari, kita diajarkan untuk disiplin dalam hal waktu, tanggung jawab, peduli pada sesama, peka terhadap sesama, budaya bersih, bersikap ramah, dan masih banyak lagi. Nilai-nilai itu hanya bisa didapat di seminari dan belum tentu kita rasakan di rumah, sekolah, ataupun di gereja. Jika di desa kita harus mensyukuri akan keberadaan kita yang berada di dalam zona nyaman yang sungguh luar biasa, di sini kita diajak untuk lebih mengembangkan diri kita untuk bisa menjadi garam dan terang dunia, membawa kabar sukacita bagi setiap orang. Itu semua tidak hanya dilakukan lewat kata-kata saja, tetapi juga harus lewat tindakan kita, tindakan yang mampu menunjukkan bahwa kasih itu tidak hanya dalam perasaan saja tetapi juga harus mampu membawa pengaruh yang baik bagi orang-orang di sekitar kita, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan.



Kita juga dilatih untuk mengembangkan rasa kepedulian kita. Bagaimana cara kita mengembangkan rasa kepedulian kita? Jawabannya adalah ‘Love is Affective and Effective’, yang artinya yaitu kasih itu afektif dan efektif. Kasih yang afektif berarti perasaan kasih yang bergelora di hati kita. Kasih yang efektif berarti perasaan kasih yang ditunjukkan lewat sikap konkret dan berdampak besar bagi mereka yang kita kasihi. Dari itulah akan muncul sifat kepedulian yang tidak hanya afektif, tetapi juga efektif.

Melalui kegiatan kali ini, semoga cinta kasih yang kita miliki tidak kita pendam di dalam hati kita saja, melainkan harus kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya kepada mereka yang berada di sekitar kita. Selain itu, semoga nilai-nilai yang diperoleh di kegiatan kali ini mampu membawa perubahan bagi kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah, dan masyarakat. Melalui refleksi ini, saya mengajak kita semua yang membaca refleksi ini untuk menjalankan cinta kasih yang afektif dan efektif serta menjalankan nilai-nilai bersih, ramah, jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, tangguh, peduli, sederhana, lembut hati, mati raga, dan menyelamatkan jiwa-jiwa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa Syukur Agung II

Doa Syukur Agung I

Peralatan Liturgi